Saturday, 13 July 2013

LUKAH { PERANGKAP BELUT}

Tetesan keringat Afriman (53) tak berhenti saat menjemur anyaman lidi yang menjadi tumpuan hidup keluarga. Satu per satu anyaman yang diberi nama luka telik atau warga sekitar menyebut luka baluik diusap dengan lumpur. Dengan teliti, anyaman tersebut dilumuri dengan menggunakan kuas agar merata di setiap luka telik. Ini dilakukan agar bentuk ‘jebakan’ ini tidak diketahui belut. “Ini namanya luka baluik (telik) dalam bahasa sini. Di pakai untuk menangkap belut di sawah di sekitar daerah sini,” ujar Afriman pada Okezone sambil mengusap telik. Telik ini terbuat dari lidi enau atau bisa juga dari lidi kelapa yang sudah kering, bentuknya menyerupai terompet dengan panjang 40 sentimeter. Di bagian dalamnya dibuat dalam bentuk lubang kecil berbentuk segitiga yang membulat. “Untuk membentuk telik ini memakai tali plastik yang kuat,” tuturnya. Afrimanmenjelaskan, luka baluik ini akan dipasang di lahan sawah. Namun untuk jumlah ‘jebakan’ itu, tergantung luas sawah yang akan dibidik bisa dipasang 5 sampai 10 telik. “Tagantuang luas sawahnyo nak (tergantung luas sawahnya nak), kalau satu petak sawah sangat luas, bisa kita pasang sebanyak 20 luka baluik tersebut, kalau kecil hanya bisa dipasang lima saja,” ujarnya. Memasang luka baluik ini, tidak sembarangan karena kalau diletakkan sembarangan tidak bisa dapat belutnya. Luka baluik dipasang di dalam sawah yang memiliki air, kemudian luka baluik ini dibenamkan dalam sawah. “Tapi itu tidak dibenamkan semuanya hanya setengah sambil rebah, itu makanya kita beri lumpur di seputar luka baluik ini untuk menyamarkan luka ini. Untuk memancing belut masuk perangkap, ini digunakan memakai umpan cacing di dalam perangkap tersebut,” ulasnya. Yang paling penting, tempat memasang perangkap ini harus diberi tanda, karena kalau tidak bisa kehilangan. Dia memasangkan luka baluik tersebut pada pukul 16.00 sampai pukul 18.00 WIB. “Luka baluik ini sudah bisa diambil keesokan harinya pada pukul 06.00-08.00 WIB. Biasanya satu luka baluik ini bisa menghasilkan belut sebanyak 12 sampai 13 ekor, bahkan tidak ada sama sekali,” ungkap Ini pria yang sudah menjadi pencari belut sejak 1980. Belut yang masuk perangkap ini, kata Afriman, ukurannya ada sebesar telunjuk dewasa atau ibu jari tangan orang dewasa, bahkan hanya sebesar pensil. “Kalau luka baluiknya sudah diangkat dari sawah belutnya di bawah ke rumah dan dari sanalah membuka isi telik tersebut dan menampung dengan ember. Biasanya belut akan banyak dapat kalau saat musim penghujan. Saat musim ini, banyak belut yang keluar dari sarangnya, tapi kalau musim kemarau belut lebih banyak tinggal di sarangnya,” katanya. Setelah mengetahui hasil tangkapannya, baru belut itu di bawah ke pasar untuk di jual. Lumayan, untuk satu kilogram saat ini harganya Rp30 ribu. Dalam sehari kadang Afriman hanya dapat belut seberat 2 kilogram dan bahkan mencapai 11 kilogram. “Dulu kalau tahun 80-an kita menjual belut di Pasar Painan ini bentuk ikatan, satu ikatan ada 35 ekor dengan harga Rp200, tapi sekarang kita pakai kilo. Sore kita pasang pagi kita angkat, dan kita jual di pasar tidak memakai penampung,” tuturnya. Setiap harinya, Afriman selalu diantarkan anaknya Irwandi (25) yang masih membujang. “Ini lah pekerjaann kita,” tandasnya. Sebenanarnya Afriman bukan warga asli daerah itu, dia merantau di Kanagarian Bukik Kaciak itu sejak 1970 bersama temannya. Untuk urusan jodoh pun Afriman tidak jauh, karena wanita pujaannya Derwati (47) merupakan warga asli Kanagarian Bukik Kaciak. Meski harus membanting tulang, Afriman mengaku penghasilannya saat ini cukup menghidupi istri dan anaknya. Biasanya belut dibeli orang rumah makan secara borongan, umumnya rumah makan menggoreng belut tersebut dan dibaluti dengan cabe hijau. Tapi ada juga yang menjadi randang baluik tapi itu masakan ciri khas di Kabupaten Batu Sangkar. Jika mencicipi belut ini rasanya sangat nikmat apalagi dengan masakan randang baluik.

No comments:

Post a Comment