Sunday, 14 July 2013
SEJARAH NAGARI SUNGAI PUA, SUMATRA BARAT
Menghargai sejarah adalah suatu perilaku yang sangat dituntut manakala suatu daerah atau wilayah memiliki kemauan untuk menjadi daerah atau wilayah yang besar. Namun kesulitan demi kesulitan tidak dapat terelakkan untuk memastikan validitas suatu sejarah, akan tetapi dengan keterbatasan data dan fakta baik tertulis maupun lisan merupakan nilai yang sangat berharga ketika ditemukan dalam rangka menarik akar sejarah suatu daerah (seperti monografi nagari Sungai Pua yang ditulis oleh Anurlis Abbas pada tahun 1982 dan monografi desa yang ada di Sungai Pua), apalagi sejarah Sungai Pua yang konon sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang silam.
Suatu hal yang perlu digaris bawahi bahwa tekat serta keinginan yang kuat dari anak Nagari Sungai Pua untuk menampilkan sejarah Sungai Pua yang dilengkapi dengan suatu data, tanggal atau tahun bagi pengenalan sejarah serta asal-usul Minangkabau, Luhak nan Tigo, terutama tentang Nagari Sungai Pua.
Menurut cerita dari mulut kemulut, turun temurun di Mingkabau, kerajaan itu ditemukan oleh Iskandar Agung. Sesungguhnya kerajaan Melayu yang kemudian muncul dan sampai kini masih terdapat di bahagian Minangkabau, didirikan oleh pendatang Hindu pada abad ke 7 Masehi.
Nama Minangkabau pertama kali ditemukan pada sebuah catatan bertarich 1365 Masehi, diberikan sebagai nama daerah dan nagari yang pernah bertarung dengan kerajaan Majapahit.
Secara etimologi mengenai nama Minangkabau tercatat pada waktu dimana terjadinya kerajaan sedang mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai peringatan atas kejadian ini-aduan anak kerbau yang sedang erat menyusu dengan kerbau jantan Majapahit, dimana matinya kerbau Majapahit itu – orang Melayu sebagai pemenang menamakan negerinya Minangkabau. Riwayat ini masih saja diterima secara bulat diantara rakyat, sedangkan kerbau adalah lambang bagi kesatuan bangsa.
Kata asal ini lebih disukai oleh orang Melayu, yang juga mengadakan pemindahan secara besar-besaran kesemenanjung tanah Malayo/Malaka, tetapi kemudian ada yang memasukkan bentuk patrilinial dalam system kekeluargaannya.
Nama Sungai Pua sendiri agaknya berasal dari Batang dan Pua, yakni kali yang kedua belah pinggirnya ditumbuhi sebangsa pohon, membelah kampung Lidah Api sampai ke Cingkaring. Kini kali tersebut dapat dilihat sebagai sungai mati. Sesungguhpun demikian curam dan lebarnya memberi bekas bagaimana derasnya arus air yang pernah mengaliri batang pua tersebut selagi masih berfungsi.
Inyiak Segeh juga mensinyalir dalam tulisannya bahwa lahar dari puncak gunung Marapi mengalir ke sebelah Utara menuju Barat membentuk sungai (Limo Kampuang, Ampuah dan terus ke Limo Suku). Di pinggir kiri kanan sepanjang lahar yang mengalir itu tumbuh batang pua yang tidak lebih dari 50 s/d 70 cm berwarna putih keungu-ungguan sehingga membentuk suatu pemandangan yang indah. Maka terbentuklah Sungai Pua.
Apabila nama, letak nagari Sungai Pua disenafaskan dengan Gunung MERAPI (2891 SM), maka sejarah, kaba, legenda, cerita mulut kemulut mencatat, bahwa asal-usul nenek moyang orang Minangkabau pada hakekatnya turun dari puncak Gunung Merapi ini. Bahkan orang-orang tua di Sungai Pua adalah yang dengan penuh kesungguhan hati lebih jauh mengaitkan asal-usul tersebut dengan Kapal Nabi Nuh as.
Menurut Ilyas Dt. Bandaro Rajo (90 tahun Piliang), di puncak gunung Merapi – dekat Talago – masih terdapat kuburan, yang dikenal sebagai Kuburan Panjang. Kecuali itu, senantiasa puncak gunung merapi dianggap keramat, terbukti puncak gunung tersebut menjadi sasaran akhir bagi mereka yang pergi “Batarak” (bertama-bersemedi), setelah melakukan hal yang sama di gunung Bunsu dan gunung Kerinci. Puncak tersebut sampai kini menjadi sebutan, ada puncak yang disebut dengan gunung Parpati, karena di puncak tersebut banyak didapati tulang-tulang dari burung merpati.
Konon ada 8 orang nenek moyang dulunya turun temurun pertama kali:
Sultan Marajo Dirajo, beserta isterinya: Putih Indah Jeliah
Suri (contoh teladan, penasehat) Dirajo Nan Banego-nego.
Cateri Reno Sudah.
Jati Bilang Pandai.
Beserta pembantu-pembantunya:
Harimau Campo
Kambiang Hitam
Kuciang Siam
Anjiang Mualim
Penduduk Sunga Pua hanyalah mendengar kisah-kisah ini, bahwa tempat penampungan adalah TANAH PADANG RANG KOTO.
Kemudian diaturlah pembagian sebagai berikut:
Tanah padang pembagian rang koto
Air pembagian rang pili
Tanjung pembagian rang pisang
Banda pembagian rang sikumbang
Guguak pembagian rang melayu.
Galodo, lava, lahar yang sampai sekarang masih banyak bekasnya, berakhir di Lidah Api. Berkat keramat Inyiak Nan Balinduang yang menanamkan bareco, sebangsa pohon kayu besar, sampai sekarang masih hidup terpencil satu-satunya di tempat tersebut. Terhindarlah anak kemenakan beliau – orang Sungai Pua – dari bencana lava tersebut.
Turunnya Inyiak Nan Balindung adalah Tuangku Laras Sungai Pua, dikenal sebagai Sulaiman Dt. Tumanggung, meninggal tahun 1914, dikuburkan dipandam pekuburan asal: Tampaik, Sungai Pua. Beliau terkenal bijaksana, pandai berbicara dan sukar tandingannya diantara lareh-lareh di Luhak Nan Tigo, dan Luhak Agam sehingga menyebabkan sebuah pabrik korek api Swedia mempergunakan kemasyhuran tersebut sebagai cap/trade mark produksinya, yaitu dengan memasang foto Tuangku Laras Sungai Pua. Tentu saja barang dagangan tersebut menjadi laras lakunya.
Abdul Moeis, pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, meninggal di Bandung, dr Ariffin, adalah anak dari Tuangku Laras ini. Perang Paderi, Perang Kamang, Perang Mangopoh, Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1950) tidak pernah absent diikuti oleh segenap rakyat Sungai Pua.
Suatu hal yang sangat perlu diketahui, bahwa di Kota Bandung (salah satu daerah parantauan bagi orang Sungai Pua) ada jalan dan terminal yang diberi nama Abdul Moeis dan Soedirman (Saudara Abdul Moeis, yang terkenal dengan piala Badminton Soedirman) yang dianggap sebagai pahlawan dan pejuang yang cukup banyak berjasa terhadap Negara Republik Indonesia di bidangnya masing-masing. Berliau berdua adalah anak pusako urang Sungai Pua (anak Tuanku Larch) Soelaiman Dt. Tumangguang. Demikian yang ditulis oleh Inyiak Segeh dalam tulisannya.
“Adat adalah pakaian rang Sungai Pua”, begitu ungkapan dan kesimpulan masyarakat bukan Sungai Pua, apabila diperlukan sesuatu makna dalam pertikaian pengertian mengenai applied/penjabaran adat itu sendiri.
Pada tahun 1946 – bulan Juli – atas kehendak rakyatnya, dalam suatu rapat umum di lapangan Balai Panjang Sungai Pua, dinyatakan 2 (dua) kenagarian yaitu Kapalo Koto dan Tangah Koto, disatukan menjadi satu nagari: Sungai Pua seperti sekarang dengan jorong jorongnya: Limo Kampung, Kapalo Koto, Tangah Koto, Limo Suku dan Galuang.
Pada tahun 1909 mulailah pemuda Sungai Pua pergi belajar agama Islam di Padang Japang (50 Kota) yang dipimpin Oleh Sech Abbas Abdullah.
Kaum adat, agama dan cendikiawan Sungai Pua senantiasa memberi warna terhadap dinamik, kritik dan bersikap logis anak negerinya.
Buku Sungai Pua, Karangan D. P. Murad (89 halaman) ditulis oleh pemuda Sungai Pua sendiri, demikian juga buku Alam Minangkabau karangan Angku Ajunct (1951) dan buku perjuangan rakyat Sumatera Barat 1945-1950 mengaris bawahi, bahwa nagari Sungai Pua beserta putera-puterannya adalah peserta aktif dalam peranan mula, masa kritis dan penyelesaian perang kemerdekaan melenyapkan penjajah Belanda dari bumi Indonesia
— bersama Herawati Zalma dan 3 lainnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment