Monday, 12 August 2013
KOTA PADANG JAMAN DULU, 343 TAHUN LALU
Padang sebelum kedatangan bangsa asing adalah kawasan yang dihuni perantau Minangkabau yang datang dari darek. Menurut cerita tambo, salah seorang dari perantau yang datang telah menemukan sebuah meriam kecil, sebuah pisau, dan serpihan porselen dengan tulisan “La illaha’ illallah Moehamad Rasoe Allah” dalam huruf Arab. Bersama barang temuan itu, juga ditemukan sebilah pedang, yang kelak dijadikan nama dari tempat itu. Sebagian lagi menyatakan bahwa nama Padang menunjukkan dataran di mana negeri itu berada. Kawasan Padang adalah daerah dataran yang terbuka hingga ke pantai; topografi yang seperti itu dalam masyarakat Minangkabau disebut ‘padang’. Dari topografi alamnya itulah nama Padang berasal.
Para perantau pertama di Padang menetap di pinggiran selatan Batang Arau yang sekarang dikenal dengan nama Seberang Padang. Dari sini mereka pindah ke pinggiran utara dan mendirikan kampung-kampung baru seperti Alang Laweh, Ranah, Olo, Parak Gadang, dan Gantiang. Kampung-kampung itu berfederasi membentuk kenagarian Padang, yang dikenal dengan Nan VIII suku, mengambil suku asli yang menempati daerah ini sejak dulu. Sementara para perantau lain kemudian juga membentuk nagari-nagari baru seperti Pauh, Koto Tangah, dan Bungus.
Nagari Padang menerapkan hukum-hukum yang berlaku di darek Minangkabau, sebagaimana juga berlaku umum di derah rantau pesisir Minangkabau lainnya. Pengadopsian ini dikuatkan dengan adigium, “adat datang dari atas turun ke bawah”. Undang-undang Duopuluh yang berlaku di darek beserta peranti-peranti hukum lainnya juga berlaku di Kanagarian Padang. Pengadilan adat berada di bawah dewan penghulu yang bertindak sebagai hakim. Dewan penghulu Padang terdiri dari delapan orang penghulu yang masing-masing mewakili suku yang mendiami Kenagarian Padang. Dewan penghulu itu bernama Dewan Penghulu nan Salapan Suku (Rusli Amran, 230). Pusat Nagari Padang adalah masjid yang juga berfungsi sebagai balai adat, tempat peradilan hukum dilaksanakan. Di sanalah keputusan hukum diambil (Colombijn, 57). Namun, sejalan dengan perguliran waktu, peranti hukum yang berlaku di Kanagarian Padang tidak lagi dipergunakan secara murni seperti di tempat-tempat aslinya di darek. Ini tentu saja karena daerah pesisir kira-kira satu setengah abad lebih dahulu bergaul dan mendapat pengaruh anasir-anasir asing, dan di Kota Padang sendiri telah berdiam paling banyak bangsa Eropa yang tunduk pada hukum mereka sendiri.
Sebelum bangsa Eropa menjejakkan kakinya di Padang, kekuasaan Aceh telah lebih dulu melakukan penetrasi. Tidak diketahui sejauh mana anasir Aceh memengaruhi sistem hukum Nagari Padang. Hanya diketahui bahwa Aceh menempatkan panglima raja mereka di Padang, namun fungsinya lebih sebagai wakil dagang daripada wakil politik. Dapat dikatakan bahwa Kerapatan Adat masih tetap berada di tangan 8 orang penghulu nagari Padang sebelum diutak-atik oleh penguasa baru bangsa asing tak lama kemudian.
Aceh perlahan-lahan disingkirkan setelah kompeni Belanda pada tahun 1666 menjadikan Padang sebagai markas besarnya untuk kawasan pantai barat Sumatera. Anasir-anasir politik Aceh semakin disingkirkan dari Padang ketika dua tahun kemudian, pada 1668, Belanda menghadap Raja Minangkabau, menawarkan kekuasaan pemerintah Belanda untuk mengusir kekuasaan Aceh dari Padang. Residen pos Belanda akan menjadi Gubernur Padang jika rencana itu berhasil. Raja Minangkabau menyetujui usulan itu. Namun, tanpa usaha pengusiran yang berarti, di akhir abad ke-17, Aceh sesungguhnya telah jauh mundur dari Padang karena menganggap kota pelabuhan itu tidak lagi penting. Sejak itu kompeni Belanda dapat dengan leluasa hingga jauh masuk ke dalam sistem politik Nagari Padang.
Di bawah kekuasaan kompeni, jumlah penghulu Padang yang semula 8 ditambah menjadi 12 yang mewakili tiga nagari, Pauh, Koto Tangah, dan Nagari Padang sendiri. Pada saat itu, Padang dalam konsepsi kompeni bukan lagi nagari masa lampau perantau Minangkabau, yaitu nagari Nan VIII Koto, tetapi wilayah kota kolonial kreasi baru yang mencakup di dalamnya nagari Pauh dan Kota Tangah. Akibatnya, dalam Kerapatan Adat Padang, wakil-wakil ketiga nagari saling berseteru memperebutkan pucuk pimpinan politik tertinggi untuk Padang. Jarang terjadi kata sepakat di antara mereka. Lewat pintu itu, kompeni memanfaatkan kekuasaannya untuk masuk lebih jauh ke dalam sistem politik Padang. Penghulu-penghulu Padang diangkat oleh tangan kekuasaan kompeni dari keluarga-keluarga yang setia kepada Belanda, sedangkan keluarga orang-orang kaya sekutu Belanda seperti Orang Kaya Kecil diberi kedudukan sebagai bendahara, yaitu penghulu utama dari yang 12. Walaupun faktor keturunan dipertimbangkan dalam pengangkatan penghulu, Belanda tetap yang memutuskan apakah seseorang cocok untuk gelar tersebut. Ini juga berlaku pada gelar panglima raja, gelar penting lain selain penghulu yang tetap dipertahankan Belanda setelah kepergian Aceh. Baik para penghulu yang 12 maupun panglima raja, sebagaimana dicatatkan MD. Mansoer (1970: 123), harus “menunjukkan kesetiaan kepada kepentingan Belanda kalau mereka ingin mempertahankan kedudukan mereka.”
Para penghulu yang 12 adalah ujung tombak penegakan hukum dalam masyarakat pribumi Padang. Membaca peran politik mereka, bisa diperkirakan seberapa jauh hukum kompeni telah masuk ke masyarakat pribumi Padang. Jika kekuasaan politik telah bertampuk sehingga dapat dijinjing dengan mudah oleh kompeni, dapat diasumsikan, hukum yang berlaku di Padang juga telah berada dalam jinjingan kompeni. Dalam tata birokrasi VOC, misalnya, terdapat petugas kehakiman dan sekretaris polisi (Gusti Asnan, 2006: 17) yang berkemungkinan besar fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari penerapan hukum kompeni di Padang terhadap masyarakat adatnya.
Nagari Padang adalah cerita Minangkabau dahulu kala, kata Colombijn. Pusat nagari adalah masjid yang juga berfungsi sebagai balai adat, tempat peradilan hukum dilaksanakan. Tetapi kotanya lebih merupakan suatu kreasi baru yang terlahir dari campur tangan luar yang terdiri dari benteng dan pasar. Benteng inilah yang menjadi basis kekuasaan kompeni termasuk dalam mengamankan kedudukan politiknya atas Padang. Benteng kompeni di Padang ialah Benteng Muara, di tepi sebelah utara Batang (Sungai) Arau. Benteng ini bertembok tinggi dan tebal, dikelilingi parit-parit dalam dan menghadap ke Batang Arau. Di balik tembok, di dalam benteng itu. menurut Mansoer, bertempat kediaman ‘Het opperhoofd van Padang’ dengan pangkat ‘koopman’, lazim disebut ‘commandeur’, Tuanku Kemendur. Wakilnya adalah onder koopman, komandan pasukan dengan pangkat letnan muda. Berdiam di dalam benteng itu ‘vaandrig’ dan pasukannya. Dalam Benteng juga terdapat gudang-gudang tempat menyimpan rempah-rempah, barang dagangan VOC, dan gudang senjata.
Sementara di luar benteng berkembang pemukiman-pemukiman para pensiun dan orang-orang tua bangsa Belanda yang secara politik tidak berarti lagi bagi kompeni. Mereka disebut kaum mardijkers. Benteng dan pemukiman orang asing di luar benteng inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kota kolonial.
Pada masa VOC, beberapa orang Minangkabau ditangkap dan dibuang oleh kompeni akibat perlawanan frontal mereka terhadap kekuasaan kompeni di Padang. Pada awal-awal kekuasan VOC di Padang, kas VOC tersedot untuk mengakhiri perlawanan mantan-mantan petinggi Aceh yang mendapat dukungan dari penduduk setempat. Bertahun-tahun kemudian, kompeni masih harus menanggungkan derita yang sama. Pada tiga dekade akhir abad ke-17, dua orang Minangkabau yang paling kaya yang tidak mau menjalin sekutu dagang dengan Belanda, tetapi memilih berhubungan baik dengan Aceh, keduanya bersama keluarganya dibuang. Belum lagi, perlawanan-perlawanan simultan dari desa-desa di pinggiran Padang seperti Pauh dan Koto Tangah. Di antara penyerang ada yang terbunuh ada juga yang kemudian tertangkap hidup-hidup sebelum akhirnya dibuang.
Riwayat VOC berakhir di Padang ketika Inggris menyerang kota ini. Pada 10 Agustus 1781, lima kapal perang Inggris melempar sauh di lepas pantai Padang. 330 marinir, 110 orang dari kesatuan infantri yang termasuk di dalamnya serdadu India, dan 25 orang dari kesatuan artileri, didaratkan untuk menyerbu kota itu. Sementara di pihak kompeni Belanda, 56 serdadu Eropa, 21 orang serdadu India, 10 serdadu orang Bugis, dan beberapa pucuk meriam tua, jelas tidak mampu menghadang serbuan. Nyaris tak ada perlawanan, penyerbuan itu dikenang sebagai ‘penyerbauan tanpa penembakan senjata’. Penyebab serbuan itu adalah, Inggris sedang berperang dengan koloninya di Amerika Utara, dan Belanda ikut menyuplai senjata ke pihak yang terakhir. Inggris berang dan mengumumkan perang kepada Belanda (1780). Kini, penguasa Padang beralih sebagaimana tepian beralih ketika air besar datang. Sejak itu hingga empat tahun kemudian, Inggris menguasai Padang. Benteng VOC yang dulu pernah tegak berdiri dengan kokoh di Muara Batang Arau dibakar Inggris.
Tidak berapa lama kemudian, pada tahun 1785, kota itu diserahkan kembali kepada kompeni dalam keadaan rusak parah. Perang telah berakhir dan gencatan senjata pada kedua belah pihak telah ditandatangani, termasuk penyerahan Padang kepada Belanda kembali. Tetapi VOC tidak bersemangat lagi mengurusi Padang. Para pemimpin VOC di Batavia menilai kawasan pantai barat sebagai daerah yang selalu merugi. Sikap setengah hati itu diperparah oleh ancaman-ancaman dari nagari-nagari di sekitar Padang. Tercatat, selama rentang tahun dari 1780 hingga 1785, dua kali orang Pauh dan Koto Tangah menyerang Padang, meskipun penduduk Eropa dan China berhasil mempertahankannya. Kegagalan itu disebabkan karena mereka tidak pernah bersepakat satu sama lain untuk menguasai Padang. Panghulu Koto Tangah dan Pauh asyik berapat menghabiskan waktu. Pemimpin kompeni berusaha mempertahankan Padang tidak lain demi kepentingan-kepentingan strategis bagi perdagangan Belanda, sebab tanpa kota itu usaha dagang kompeni di kawasan pantai barat akan merana. Atas dasar itu pula, VOC kemudian membiarkan Padang bebas dimasuki pedagang-pedagang dengan hanya memungut cukai masuk di Padang. Hingga akhir abad ke-18, kompeni dengan susah payah dapat bertahan di Padang.
Delapan tahun kemudian, Padang diserbu lagi. Kali ini Le Meme, seorang bajak laut yang menguasai perairan dari Tanjung Harapan hingga Selat Sunda, mengobrak-abrik kota itu. Orang-orang China dan pribumi melarikan diri ke daratan. Sementara pegawai-pegawai VOC, orang-orang Belanda dan keturunannya, menanggungkan akibat dari keganasan bajak laut Le Meme. Dia dan kawanannya merampok semua barang-barang berharga yang ditinggalkan warga kota dan menyandera kota itu untuk meminta uang tebusan. Padang, setelah itu, akan mengalami kelesuan yang panjang.
Dua tahun setelah Le Meme meninggalkan Padang dalam keadaan porak-poranda, Inggris kembali untuk yang kedua kali menguasai kota ini. Sejak 1795 hingga diserahkan kembali kepada Belanda sebagai realisasi dari Perjanjian London pada 1814, kota itu terus terabaikan, dan Padang akan mengalami kelesuan yang panjang. Inggris tidak pernah mengganggap penting Padang sebagai sebuah kota yang menguntungkan. Apalagi, tidak berapa tahun dalam kekuasaan Inggris, gempa besar mengguncang kota itu dan menghancurkan hampir semua bangunannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bagus Pak. Tapi ada penggalan cerita yang terlupakah bahwa sebelum itu orang suku Nias lebih dulu tinggal di Padang. Berikut ini artikelnya.
ReplyDeletehttp://travel.m.klikpositif.com/baca/9251/nias--salah-satu-suku-pertama-penghuni-kota-padang